RADARSEMARANG.COM – Widodo Kabutdo merupakan salah satu perajin bonsai di Kota Semarang. Uniknya, bonsai yang dihasilkan super mini. Ukurannya sangat kecil. Paling tinggi hanya 7 centimeter.
Puluhan bonsai terlihat nyentrik dan unik. Sangat kecil. Semua terlihat berjajar rapi dan estetik. Vas pohon yang digunakan mungil. Saat dipegang, hanya seukuran jempol orang dewasa.
Itulah hasil kreativitas yang dihasilkan Widodo Kabutdo warga Kota Semarang. Ia menekuni bonsai mini berawal dari hobinya melukis. Sangat cantik. Ukurannya kecil. “Paling tinggi hanya 7 centimeter,” akunya.
Ia mengakui sengaja membuat konsep bonsai versi kecil. Agar orang yang melihat sesuatu karya mikro itu artinya mengajak untuk mendekat. Mendekat dari jarak dekat. Supaya orang menikmati betapa indahnya batang, indahnya ranting sampai terbentuk pohon seperti itu. Sehingga terpesona. “Orang bisa bilang indah itu karena ada hal lain yang memang diperdalam, jadi mau mendekat gitu” akunya.
Membuat bonsai super mini ini tentu sangat spesial. Karena prosesnya yang panjang. Makna dibalik hidupnya bonsai mini itu yang membuat karyanya mahal. Ia menuturkan, biasanya orang yang mau beli bonsai miliknya harus menunggu sampai ia mau menjualnya. “Karena tujuan saya untuk koleksi, bukan komersial,” tegasnya.
Ia tetap menjual beberapa koleksi untuk menyenangkan orang lain, supaya turut bermanfaat. Peminatnya, tak hanya pembeli lokal, namun juga lintas daerah seperti Jakarta, Surabaya, bahkan Kalimantan. Biasanya mereka tertarik dari postingan di media sosialnya WK_Art. “Sebenarnya kalau dituruti sampai luar negeri, hanya saja terkadang ada kendala impor,” tambahnya.
Widodo menyebut, di galerinya terdapat ribuan bonsai. Belum semua jadi, banyak yang masih bahan atau bibit. Adapun bahan pohon itu ia kembangkan dari bonsai sebelumnya dari proses potong dahan, maupun cangkok.
Memelihara bonsai super mini lebih memiliki tantangan yang besar. Perlu extra hati-hati karena ruang hidup pohon cukup sempit. Kesulitannya, bagaimana pohon ini bisa bertahan hidup dengan baik. “Selanjutnya, supaya pohon yang tumbuh itu tetap ideal antara pohon dan potnya seimbang, jangan sampai kedodoran,” ujarnya.
Untuk menghasilkan kualitas bagus, seluruh komponen harus proporsional. Umumnya, dua minggu pohon berkembang biak, daun dan akarnya mengalami pembesaran. Supaya tetap kecil, mesti dilakukan pemotongan. Harus menyeimbangkan.
“Kalau saya 40 persen media tanam, 60 persen program proses pembuatan. Jadi lama sekali untuk sampai masuk di pot. Rata-rata mau besar mau kecil itu diproses dulu di luar pot, baru dipindah,” jelasnya.
Ia memiliki satu koleksi bonsai yang memiliki filosofi menarik. Usianya sudah 7 tahun. Terdapat batu yang ia bentuk atau ukir seperti tengkorak. Tengkorak itu mengelilingi pohon. Gambaran itu terinspirasi dari budaya Bali, Trunyan. Dimana, ada sebuah pohon yang dikelilingi mayat.
“Mayat itu hanya diletakkan saja, tapi tidak berbau karena adanya pohon itu. Itulah filosofinya. Pohon pun, bagi orang yang sudah mati saja masih bermanfaat,” tambahnya. (ifa/fth)