RADARSEMARANG.COM – Kasus pemasungan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih saja terjadi. Pemasungan ini bukan dilatarbelakangi keinginan keluarga, namun karena desakan kuat dari lingkungan sekitar. Akhirnya keluarga terpaksa melakukan perlakuan tak manusiawi itu.
Beberapa waktu lalu, RADARSEMARANG.COM bersama Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Pekalongan menjemput dan melepaskan pasung ODGJ. Tujuannya, untuk membawa mereka ke rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti rehabilitasi. “Biar mereka mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi, bukan dipasung,” kata Kepala Dinsos Kabupaten Pekalongan Yudhi Himawan kepada koran ini.
Dalam bahasa Dinsos, pengertian “pemasungan” ODGJ tak melulu diborgol atau dibelenggu dengan alat pasung. Penyekapan atau pengasingan pengidap ODGJ di dalam kamar juga termasuk pemasungan. Isolasi komunikasi dan aktivitas ODGJ juga pemasungan.
Saat itu, ODGJ pertama yang jadi sasaran pembebasan dari pasung adalah Haryanto, 24, warga Desa Sabarwangi, Kecamatan Kajen. Begitu rombongan tiba, pengidap gangguan jiwa itu sudah dikeluarkan dari kamar pemasungan. Ia hanya duduk terdiam di lantai. Petugas Dinsos dan Sentra Terpadu Kartini Temanggung (lembaga yang mewakili Kemensos RI, Red) lantas memberi treatment Haryanto, mengganti pakaiannya dan mencoba mengajak bicara.
Atas izin keluarga, koran ini mencoba masuk ke kamar tempat Haryanto dipasung. Ruangan itu gelap, berantakan, sempit, berlantai tanah, dan tak terawat. Di situlah bertahun-tahun Haryanto dipasung.
Kusnita, 33, kakak kandung Haryanto mengatakan, sudah sejak kelas II SMP adiknya itu mengalami gangguan jiwa. Awalnya, hanya kejang-kejang dan mulut mengeluarkan banyak liur. Setelah itu, sikap Haryanto berubah. Kerap mengamuk dan memasukkan barang-barang ke sumur, termasuk sepeda. Lalu sering memukul anak-anak kecil dan melempari batu ke rumah tetangga.
“Tetangga lalu mendesak adik saya dipasung. Kami terpaksa melakukan karena dianggap membahayakan. Saya lupa kapan mulai dipasung itu. Sepertinya baru setahun ini,” ujarnya
Di Desa Sabarwangi, petugas juga mendatangi ODGJ bernama Nur Idayati, 34. Berbeda dengan Haryanto, kaki Idayati dibelenggu tali, diikatkan dengan kasur. Tapi kondisi kamar Idayati jauh lebih baik dari Haryanto. Kasurnya terawat, rapi, dan cukup cahaya.
Menurut Manisa, 38, kakak sepupu Idayati, keluarga terpaksa memasungnya karena Idayati kerap keluar rumah dan mengamuk. Tetangga-tetangga merasa terganggu. “Sebenarnya kami tidak tega, bagaimanapun itu keluarga juga,” ucapnya.
Idayati mengalami gangguan jiwa sejak kelas II SMA. Keluarga tak tahu penyebabnya. Hanya ingat waktu itu mulai terlihat saat Idayati pulang dari study tour di Bali. “Awalnya halusinasi, lihat ini, lihat ini. Seperti punya dunia sendiri,” katanya.
Sang bibi yang sehari-hari merawat Idayati menangis sejadi-jadinya ketika keponakannya itu dibawa Dinsos ke mobil ambulans. Ia sampai menghampiri Idayati yang saat itu sudah berada di ambulans. Bibi itu menangis di pangkuan Idayati.
“Iya, itu bibinya. Mungkin akan merasa kehilangan karena tiap hari dia yang merawat,” ujar Manisa.
Data Dinsos Kabupaten Pekalongan, total ada lima ODGJ yang dipasung. Termasuk Haryanto dan Idayati.
Kepala Dinsos Kabupaten Yudhi Himawan mengatakan, selain dua itu, ada satu di Desa Pododadi, Kecamatan Karanganyar yang juga sudah dilepaskan dari pemasungannya dan dibawa ke RSJ.
“Jadi, dari lima, kami baru bisa asesmen tiga. Yang dua kami masih menunggu persetujuan keluarga,” katanya.
Tiga yang sudah dibawa itu kini berada di RSJ Prof Dr Soerojo Magelang. Yudhi mengabarkan, mereka dalam kondisi baik. Masih dalam perawatan intensif dokter di ruang isolasi karena kondisi kejiwaannya yang memperihatinkan akibat terlalu lama dipasung.
“Setelah selesai perawatan di RSJ, langsung akan kami lanjutkan rehabilitasi di panti terdekat,” ucapnya.
Dinsos Kabupaten Pekalongan dalam waktu dekat akan melakukan edukasi terhadap keluarga dan lingkungan sekitar rumah ODGJ. Dinsos meminta kepala desa melakukan musyawarah dengan warga terkait keramahan terhadap ODGJ.
“Kami harap, setelah tiga ODGJ itu kembali ke rumah, tak ada kasus pemasungan lagi. Lingkungan juga harus turut mendukung dan membangun mentalnya. Bukan menyudutkan,” ucap Yudhi.
Edukasi dan Dampingi Keluarga ODGJ
Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Magelang belum mendapat laporan terkait kasus pemasungan di Magelang Raya (Kota dan Kabupaten Magelang). Namun tidak menampik jika masih ada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dikurung atau diisolasi oleh pihak keluarga.
Dijelaskan, definisi pasung adalah alat untuk menghukum orang. Biasanya terbuat dari kayu apit atau kayu berlubang. Kemudian dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher. Kasus seperti itu, dulunya memang pernah ada di Magelang. Ketika awal-awal perjalanan KPSI mendukung program bebas pasung. Namun dengan pendampingan dan aktif turun ke lapangan, kondisi itu berangsur hilang.
Ketua KPSI Simpul Magelang Tri Mufida Nastiti melihat, kasus yang saat ini terjadi adalah isolasi ODGJ. Beberapa keluarga memiliki alasan mengapa melakukan hal itu. Terutama saat ODGJ ditinggal bepergian. “Misalnya ada ODGJ cantik, takutnya hilang dan diperkosa di jalan,” sebut Fida, sapaan akrabnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Ada pula ODGJ yang sering menunjukkan perilaku yang membahayakan orang lain. Cenderung ingin melukai. Faktor lainnya, pihak keluarga banyak yang takut kehilangan ODGJ. Sebab, ketika ODGJ mengikuti halusinasi dan delusi, akan berjalan tanpa arah. “Ini penyebab ODGJ sering hilang, apalagi yang perempuan, sangat rawan mendapat ancaman kekerasan seksual,” katanya.
Meski tidak ada lagi laporan kasus pasung, KPSI Simpul Magelang tetap jaga-jaga. Mencegah terjadinya repasung atau pemasungan kembali. Yakni, dengan memberikan informasi dan dukungan kepada pihak keluarga, bagaimana merawat ODGJ yang benar di rumah. “ODGJ harus diobati,” sebutnya.
Ia melihat masih ada pihak keluarga yang kembali mengurung ODGJ, karena kondisinya sulit dikendalikan. Ternyata faktornya karena putus obat. Atau sama sekali tidak diobati. “Karena tidak diobati, perilaku itu muncul dan mengganggu lingkungan. Kalau diobati, pasti membaik,” imbuhnya.
Ia ingin memberikan pemahaman bahwa gangguan kesehatan mental terberat adalah skizofrenia. Orang dengan skizofrenia harus minum obat seumur hidup. Tidak boleh berhenti sesuka hati.
“Jangan sampai ada yang menyarankan berhenti minum obat supaya ginjalnya tidak sakit, jangan sampai itu. Karena bisa kambuh. Kalaupun harus berhenti minum obat, itu atas petunjuk psikiater,” terangnya.
Jika masyarakat memahami dengan benar tentang penanganan ODGJ, ia yakin tidak ada lagi ODGJ yang dipasung maupun dikurung dalam waktu yang sangat lama. Pemasungan dan pengurungan terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Kesehatan Jiwa. “Yang jelas mengekang, mengurung, memasung, itu merupakan pencabutan dan melanggar azas perikemanusiaan. Mereka memperlakukan manusia, tidak sebagaimana manusia, tapi seperti hewan,” tandasnya.
Pemasungan atau pengurungan juga dianggap sebagai perampasan kemerdekaan dalam pasal 333 KUHP. Akan tetapi KPSI memandang kasus di lapangan lebih humanis dengan melihat aspek alasan keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa itu. Tidak serta merta menggunakan peraturan dan pidana sebagai ancaman pada keluarga.
KPSI melakukan edukasi, pendekatan, dan pendampingan pada keluarga supaya keluarga lebih berdaya. Yang paling penting mampu menjalankan lima peran keluarga. Yaitu, mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat, merawat ODGJ di rumah, memodifikasi lingkungan rumah supaya aman dan nyaman bagi ODGJ dan keluarga, serta mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang profesional bagi ODGJ.
Fida mengungkapkan, sebagian besar ODGJ berasal dari keluarga kurang mampu. Karena itu, pemerintah harus hadir memberikan jaminan pelayanan kesehatan. Sebab, pengobatan ODGJ membutuhkan waktu yang panjang. “Namun perlu diingat, bahwa selain pengobatan medis, hal yang paling penting bagi ODGJ adalah pelukan hangat dari keluarga,” jelasnya.
Selain itu, ia juga prihatin terhadap masyarakat yang mengaitkan gangguan jiwa dengan mistis. Beranggapan jika gangguan jiwa itu muncul akibat ketempelan makhluk gaib. Kemudian justru mengobati ODGJ ke “orang pintar”.
KPSI Simpul Magelang buru-buru mematahkan pemahaman keliru itu dengan rutin mengedukasi dan mengajak ODGJ yang kondisinya sudah membaik untuk turut memasyarakatkan pengobatan medis. Ia juga meminta kepada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk ikut memasyarakatkan hal ini. “Dengan berobat ke medis, kondisi ODGJ akan membaik dan bisa bermasyarakat,” ucapnya.
Relawan KPSI Simpul Magelang Ns Sambodo Sriadi Pinilih menambahkan, banyak hal yang bisa memicu timbulnya gangguan jiwa. Mulai dari urusan asmara, hubungan rumah tangga, pekerjaan, perundungan, faktor ekonomi, kondisi fisik, mengalami gangguan kesehatan yang tak kunjung sembuh, maupun mengalami trauma bencana. “Penyebabnya memang multifaktor,” jelasnya. (nra/put/aro)