RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kasus korupsi yang menyeret Bupati Nonaktif Banjarnegara Budhi Sarwono dan Kedy Afandi sampai pada tahap tuntutan. Ia terjerat perkara korupsi ikut serta dalam pemborongan, dan pengadaan pada Dinas PUPR Pemkab Banjarnegara 2017-2018 dan penerimaan gratifikasi.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Meyer Volmar Simanjuntak membacakan tuntutan hukuman untuk dua orang yang menyebabkan kerugian negara Rp 26,02 Miliar itu.
“Meminta majelis hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa 1 Budhi Sarwono dengan pidana penjara selama 12 tahun, dan menghukum denda sebesar Rp 700 juta subsider 6 bulan penjara,” katanya dihadapan majelis hakim yang dipimpin Hakim Rochmad di Pengadilan Tipikor Semangat, Jumat (20/5).
Selain itu, Jaksa Meyer juga meminta terdakwa untuk membayar Uang Pengganti (UP) sebesar Rp 26,02 miliar. Pembayaran tersebut selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Jika dalam waktu tersebut tidak dapat membayar UP, maka harta bendanya di sita. Jika harta benda tidak cukup untuk memenuhi UP, maka diganti kurungan penjara selama lima tahun,” ujarnya.
Sementara itu, pada terdakwa II Kedy Afandi dituntut hukuman 11 tahun dan denda Rp 700 juta. Namun ia tidak dibebani membayar UP.
“Pada terdakwa Kedy tidak ada UP karena dibebankan pada terdakwa I. Penghitungan UP itu yang dinikmati atau diterima langsung oleh terdakwa I, maka itu sudah dapat dimintakan uang penggantinya,” imbuhnya ditemui usai sidang.
Dalam persidangan, Kedy mengakui perbuatan tersebut, meski hanya sebagian. Sementara Budhi tidak mengakui.
Dalam pertimbangannya, terdakwa sebagai kepala daerah tidak mendukung pemerintah menciptakan pemerintah yang bersih dan antikorupsi. Sebagai kepala daerah harus berperan aktif mencegah terjadinya korupsi, namun ini justru, dan terakhir tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu, pertimbangan meringankan karena terdakwa memiliki tanggungan keluarga.
Dalam fakta persidangan, lanjutnya, terdakwa I dan II ikut serta dalam borongan proyek pengadaan pengadaan pada Dinas PUPR Pemkab Banjarnegara 2017-2018. Berdasarkan keterangan saksi di persidangan, terungkap untuk memastikan surat dukungan dalam proyek tersebut harus berasal dari Perusahaan PT Bumirejo dan PT Samba Wijaya yang merupakan milik terdakwa I.
Selaku pemilik wewenang di daerah tersebut, Budhi yang juga sebagai Direktur PT Bumirejo yang bergerak di bidang jasa konstruksi ini memerintahkan Kedy selaku orang kepercayaannya untuk mengumpulkan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Jasa Konstruksi Kabupaten Banjarnegara dan mengadakan pertemuan.
Terdakwa II atas perintah terdakwa I menyampaikan paket pekerjaan yang ada di Kabupaten Banjarnegara lewat satu pintu, yakni melalui terdakwa. Selain itu terdakwa Budhi melalui terdakwa Kedy juga mengondisikan lelang dengan menaikkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) 20 persen. Dari upaya menaikkan HPS tersebut, bagi kontraktor yang ingin mendapatkan pekerjaan harus menyerahkan fee 10 persen dari nilai proyek pada terdakwa Budhi.
Selain itu, juga menyampaikan lelang yang sedang berlangsung pada kelompok kerja jika pelayanan pengadaan barang dan jasa tersebut dimenangkan oleh perusahaan yang telah ditentukan oleh terdakwa I. Selain itu, Budhi juga meminta berkas penawaran perusahaan lain digugurkan dalam tahap klasifikasi.
Jaksa Meyer menambahkan, dalam kasus ini kedua terbukti melanggar Pasal 12 huruf i Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Keduanya juga didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara itu penasihat hukum terdakwa Luhut Sagala mengatakan akan melakukan pledoi pada Selasa (31/5) mendatang. Ia mengungkapkan, dakwaan yang diajukan jaksa tidak terbukti, termasuk pasal yang disangkakan terhadap kliennya itu.
“Kami menganggap dakwaan 12i dan 12B itu tidak terbukti. Jangankan bicara tuntutannya, pasal yang digunakan saja tidak pas tidak tepat. Lengkapnya, tunggu saja nanti di pembelaan,” kata Luhut. (ifa/bas)