RADARSEMARANG.COM – Pergerakan dakwah masa kini (milenial) tidak bisa dilepaskan dari peran para da’i muda, termasuk dari Kabupaten Demak. Di Kota Wali ada banyak da’i yang memiliki talenta dalam menjalankan fungsi dakwahnya. Di antaranya, dakwah yang dilakukan KH Abdur Rokhim MPdI atau yang akrab dikenal dengan nama beken, Ki Joko Goro Goro.
Pengasuh Ponpes Darul Huda, Desa Wonowoso, Kecamatan Karangtengah ini merupakan da’i yang memiliki tekad kuat untuk melanjutkan dakwah Walisongo, utamanya dengan metode dan tradisi dakwah yang pernah disampaikan Sunan Kalijaga di zamannya ketika itu. Saat berdakwah, Ki Joko Goro Goro antara lain menggunakan wayang sebagai sarana dakwahnya.
“Kalau pengalaman dakwah saya kira hampir sama dengan para mubaligh lainnya. Saya mulai berdakwah sejak 1993,” ujar pria kelahiran Demak, 11 April 1974 ini.
Dulu, dakwah dijalankan di sekitar wilayah Kabupaten Demak. Namun dalam perkembangannya merambah ke Grobogan, Kendal, dan daerah lainnya. Makin dikenal, Ki Joko juga diminta tausiyah ke luar Jawa. Antara lain, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Di Pulau Sumatera, alumni Ponpes Fathul Huda Karanggawang Sidorejo ini pernah dakwah di Jambi, Palembang, Bengkulu, Pekanbaru Riau, dan lainnya. “Kalau di luar negeri, saya pernah diundang untuk mengisi pengajian di Hongkong dan Taiwan. Di sana kan banyak TKI dan TKW,” katanya saat ditemui RADARSEMARANG.COM di kediamannya dengan didampingi Taslim Arief, ustadz Ponpes Fathul Huda.
Ki Joko Goro Goro menuturkan, dakwah yang disampaikan merangkum dari berbagai ajaran Islam Wasatiyah. Islam yang penuh hikmah, rahmat dan kasih sayang atau yang dikenal dengan Islam Rahmatan Lil Alamin sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga yang menghargai kearifan lokal, termasuk dari sisi seni dan budayanya.
“Kita berdakwah itu membina dan tidak menghina. Mendidik dan tidak menghardik. Tentu, kita sampaikan dengan pendekatan mauidzah hasanah. Penuh rahmat ala Islam Wasatiyah dan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja),” kata suami dari Choirul Inayah (Alhafidzah) dan ayah dari empat anak. Yaitu, Muhamad Nur Ibnul Barik (jadi kiai di Jambi), Muhamad Nailul Amal Rokhim (studi di Universitas Al Azhar Kairo Mesir), Muhamad Zaki Anwar Rokhim (santri Ponpes Fathul Huda) dan Nilna Aza Sahrina Rokhim (kelas 6 MI) ini.
Sebagai pendakwah kelas internasional, Ki Joko Goro Goro juga aktif di komunitas para da’i. Yaitu, Jamiyyatul Muballighin (Jamu). Dengan menjabat sebagai ketua Jamu pusat, ia berharap dapat mempermudah sekaligus turut mewarnai jagat dakwah dengan nilai-nilai dakwah yang pernah diajarkan Walisongo. Menurutnya, dakwah di bumi nusantara sekarang ini tantangannya cukup berat. Di antaranya, melawan penetrasi dakwah yang dilakukan kaum Salafi dan Wahabi. Karena itu, memakai metode dakwah Walisongo dinilai sangat cocok untuk “melawan” narasi dakwah kaum Salafi dan Wahabi tersebut.
“Melihat fenomena seperti itu, kita harus bersatu membentengi anak-anak dan keluarga. Jangan sampai mereka ikut aliran Salafi atau Wahabi yang mudah atau suka mengafirkan dan membid’ahkan orang lain maupun tradisi lokasl tersebut,” katanya.
Karena itu, kata Ki Joko Goro Goro, strategi dakwah yang dilaksanakan senantiasa berpedoman pada empat metode sekaligus. Pertama, metode indoor (fokus pada materi dakwah). Biasanya, model indoor atau dalam ruangan ini dijalankan saat mengajar di dalam pondok pesantren atau sedang mendidik para santri. Kedua, metode outdoor atau luar ruangan dengan konsep ceramah. Maka, saat dipanggung ini, pendakwah juga dapat memanfaatkan ekspresi seni budayanya, termasuk melalui karawitan.
Ketiga, metode door to door (dari pintu ke pintu atau dari rumah ke rumah). Biasanya, metode itu dipakai para kiai yang biasa mengisi tahlil dan manakib di musala maupun masjid-masjid. Terakhir, keempat, pakai metode dar der dor. Artinya, ketika lawan dakwah yang berbeda aliran atau paham menggunakan narasi dakwah yang merusak ekosistem lingkungan yang damai, maka pendakwah Aswaja bisa menyesuaikan untuk melawan narasi dakwah yang dianggap merusak pemahaman masyarakat tersebut.
“Dar der dor itu bisa berarti pendakwah yang mudah emosian. Maka, harus bisa memposisikan diri dalam mensikapi yang model seperti itu,” ujarnya.
Pada prinsipnya, kata Ki Joko, dalam dakwah harus bisa melihat audiennya. Apakah, mereka itu kategori santri, masyarakat umum atau lainnya. Menurutnya, dakwah yang dijalankan juga berpedoman pada konsep persaudaraan. Yaitu, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan berbangsa), dan ukhuwah Basyariyah (persaudaraan umat manusia).
“Karena itu, dakwah yang merangkul, selalu menjaga kerukunan umat beragama dan toleransi antarsesama ini akan menguatkan posisi kita dalam berdakwah,” katanya.
Audiens yang menerima dakwah itupun, tentu akan merasa lebih nyaman dan tenang sekaligus terhibur dengan tembang dan syiiran sebagaimana yang dilakukan Sunan Kalijaga. Dakwah wayang Sunan Kalijaga misalnya, mengajarkan bagaimana posisi manusia yang selalu punya bayang-bayang hidup kesana kemari yang pada prinsipnya tetap wajib sembahyang (beribadah pada Tuhan).
“Nek, menungso wis ora nduwe bayang-bayang, maka ibaratnya sudah mati dan harus disembahyangi (disalati). Begitupula, istilah karawitan (musik gamelan) dalam dunia pewayangan juga bisa diartikan nguculi atau ngudari keruwetan hidup yang ada,” ujarnya.
Karena itu, kata Ki Joko, dakwah itu sejatinya bisa memberikan pencerahan bagi audiens agar bisa melepaskan keruwetan hidup yang mereka hadapi. “Maka, yang penting disini adalah, pentingnya mencari rasa (golekki roso). Bagaimana caranya agar orang yang lupa jalan bisa kembali ingat jalannya (tobat). Selain itu, bagaimana mereka juga tetap memiliki rasa (roso) tentrem dan adem,” ujarnya. (hib/ida)