RADARSEMARANG.COM – Baru kali itu saya merasakan menjadi korban sekaligus wartawan. Dalam satu bingkai peristiwa. Tepatnya pada Rabu,19 Januari 2022, di Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan.
Iya, pada hari itu dalam tugas sebagai wartawan, saya terjebak longsor di Kayupuring selama kurang lebih delapan jam. Tentu tidak sendiri. Saya bersama 150-an orang lain. Termasuk Kapolres Pekalongan AKBP Arief Fajar Satria. Kami, kemudian disebut korban terjebak longsor.
Saya akan langsung melompat ke hal yang saya maksud di judul tulisan ini. Sebenarnya detailnya sudah saya tulis dengan bentuk feature dan terbit dua seri di koran ini. Yakni pada 21 dan 22 Januari lalu. Jadi, tulisan ini akan lebih bercerita pada apa yang saya lakukan pada saat menjadi “korban terjebak longsor” itu dengan tanggung jawab saya sebagai wartawan.
Siapa yang tak panik dan takut saat berada dalam posisi terjepit seperti itu? Berjam-jam kami, 150-an ini, bertahan di bawah guyuran hujan yang tak berhenti sejak pukul 12.00 – 17.00. Kami benar-benar terjebak. Di depan longsor, di belakang longsor. Sementara kami semua datang ke sana dengan kendaraan.
Material longsor dan derasnya luapan air bah yang sampai ke jalan tak mungkin bisa kami terjang dengan kendaraan. Menyedihkannya lagi, tak ada sinyal internet maupun selular di sana. Jangankan itu, sinyal HT polisi pun tak ada. Itu lah yang membuat kami tak memanggil bantuan.
Meski begitu kami masih menaruh harapan besar hujan berhenti, arus sungai tak lagi deras, agar kami bisa bergotong-royong menyingkirkan material longsor, lalu pulang, turun dari Petungkriyono.
Harapan itu seakan benar-benar pupus setelah tebing di depan kami kembali luluh lantah. Jalan makin tertutup lumpur dan batu-batu besar. Batang pohon raksasa ikut terbawa air bah. Kami yang semula diam di masing-masing tempat lantas kembali berhamburan di bawah hujan. Jerit dan tangis bersahutan. Mencekam.
Itu longsor susulan yang benar-benar terjadi di depan kami, di saat kami tengah berharap keadaan membaik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Itu lah kali pertama saya benar-benar menyaksikan dengan mata telanjang betapa pohon-pohon besar bisa berjalan, batu-batu besar menggelinding di jalan seperti tak punya berat, dan limpasan air bah setinggi bangunan rumah. Shock bukan main.
Dalam keadaan panik dan gaduh tak karuan seperti itu, saya berusaha tetap mencatat apa yang terjadi. Mencatat ucapan-ucapan orang di sekitar, waktu, dan hal apa saja yang menonjol. Bagaimanapun saat itu, saya tetap wartawan. Kejadian luar biasa seperti itu tidak saya biarkan berlalu begitu saja atau berhenti menjadi berita-berita dangkal dan berangka saja.
“150 orang terjebak longsor”, “Kapolres Pekalongan, Relawan, dan Wartawan Terjebak Longsor”, atau “Terjebak Longsor, 150 Orang Selamat”. Saya tak mau berita saya sesederhana itu.
Betapapun sadar sebagai wartawan, saat peristiwa itu saya tak melulu mencatat. Saya membantu ibu-ibu naik ke mobil polisi saat semua berhamburan ke jalan. Ibu-ibu renta yang tak saya kenal itu tak mungkin saya biarkan kehujanan. Saya membantu memindahkan sejumlah sepeda motor menjauh dari tebing. Saya menarik tangan kapolres saat ia terpeleset di selokan. Saya ikut mondar-mandir mengecek kondisi longsor di Dusun Tinalum ketika ada opsi pulang lewat jalur Banjarnegara. Kami semua saling membantu, saling mengamankan, dan menenangkan.
Justru karena apa-apa yang saya lakukan itu, saya jadi mendapat banyak data dan fakta. Saya bisa menulis berita lebih mendalam. Sehingga pembaca bisa terbawa dan mendapat gambaran peristiwa itu secara utuh, bukan yang dilebih-lebihkan (dramatisasi).
Justru karena saya turun dan terlibat langsung di lapangan itu, saya tak terjebak dengan data-data angka. Saya bisa mendeskripsikan peristiwa, suasana, dan kronologi.
Saya tak tahu bagaimana pembaca di luar sana menilai features saya yang terbit di koran ini pada 21 dan 22 Januari 2022 lalu. Beberapa teman mengomentari “apik (bagus), “mantabb”, dan “jos”. Tentu itu belum bisa menjadi ukuran. Namun saya sudah berusaha semaksimal mungkin menyajikan berita itu dengan fakta yang utuh. Jika bukan dengan “fakta yang utuh” itu, izinkan saya bertanya, produk jurnalisme seperti apa yang kita butuhkan saat ini? Jika bukan dengan cara turun ke lapangan, kerja wartawan seperti apa agar dapat menjaring fakta secara utuh? (nra/zal)
Selamat Hari Pers Nasional ke-37.