RADARSEMARANG.COM – Bagi Dyah Ratna Harimurti, kesetaraan hak perempuan, anak dan penyandang disabilitas menjadi konsentrasi utama yang harus diperjuangkan. Terlebih, beberapa waktu lalu marak kekerasan seksual terhadap perempuan di lembaga pendidikan.
Detty, begitu ia disapa geram dengan maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan terutama yang terjadi di pondok pesantren. Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang ini menerangkan, peringatan Hari Ibu 22 Desember lalu, seharusnya menjadi momentum untuk menyelesaikan kekerasan seksual oleh pemerintah pusat ataupun daerah.
“Akhir-akhir ini kasus pelecehan seksual pada wanita terjadi di tempat pendidikan, apalagi di pondok pesantren. Itu yang harus diselesaikan pemerintah,” kata wanita kelahiran Semarang, 5 Oktober Tahun 1976 ini.
Istri Gus Tanto tersebut menjelaskan, kasus pelecehan seksual di Kota Semarang belum begitu banyak terekspos, namun harus ada payung hukum yang tegas untuk menjerat pelaku pelecehan seksual.
Menurutnya, banyak korban yang enggan melapor karena merasa hukum belum melindungi korban. Di samping itu, pelaku mendapat hukuman kurang berat. Ia menyebut, setelah keluar dari penjara, pelaku masih sangat mungkin mengulangi perbuatannya.
“Kenapa sering terjadi? Karena hukuman di negara kita hukumnya belum kuat. Banyak yang berani membawa ke ranah hukum tapi hukumannya tidak seberapa,” tuturnya.
Ibu lima anak ini mencontohkan, kasus pelecehan seksual di pondok pesantren baru-baru ini ataupun insitusi pendidikan lainnya, harus menjadi sorotan. Korbannya hamil dan melahirkan, memiliki trauma yang tinggi.
Kejadian tersebut sangat tragis lantaran korban usai remaja atau di bawah umur yang akhirnya hamil dan melahirkan. Padahal remaja belum paham betul tentang gizi balita dan kesehatan reproduksi.
Agar tidak kembali terulang, lanjut Detty, hukuman mati atau kebiri layak diberikan kepada pelaku pelecehan seksual. Jika tidak, pelaku yang tidak jera akan kembali berbuat serupa kepada perempuan lainnya.
“Hukuman mati menurut saya bisa saja dan pas. Kebiri apalagi juga pas. Karena pelaku sudah membunuh masa depan korbannya,” tegasnya.
Khusus penyandang disabilitas, lanjut Detty, Pemkot Semarang sudah memiliki peraturan daerah (Perda) tentang penyandang disabilitas yang disahkan belum lama ini. Politisi yang juga ketua panitia khusus perancangan perda itu menerangkan adanya aturan tersebut akan melindungi hak penyandang disabilitas dari berbagai segi. Seperti pendidikan, dan kesehatan.
“Adanya perda ini, menjadi landasan perlindungan bagi kaum berkebutuhan khusus. Meskipun di Kota Semarang sudah melindungi kaum disabilitas,” tambahnnya.
Ia menjelaskan, saat rancangan perda, dimasukkan aturan khusus untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas yang harus disediakan pemerintah. Kesetaraan dalam hal pendidikan juga dituangkan tentang sekolah inklusi, meski di ibu kota Jateng ini memiliki sekitar 17 sekolah inklusi.
Detty menegaskan perda ini, membuat sekolah tidak boleh menolak siswa berkebutuhan khusus dengan catatan anak bersangkutan telah melalui asesmen psikolog. Sarana dan prasarana di sekolah juga harus dapat mendukung siswa disabilitas.
“Jadi sekolah nggak boleh menolak anak disabilitas. Tapi ada syarat mereka masuk ke sekolah reguler, yaitu ada asesmen dari psikolog,” ujarnya.
Adanya perda ini, kata dia, juga akan memuat pendataan. Apalagi selama ini data penyandang disabilitas belum menyeluruh. Pendataan yang lebih valid ini, bertujuan untuk melindungi dan melayani kaum difabel lebih maksimal, penanganan lebih spesifik.
“Pendataannya harus lebih rigid, banyak yang belum terdata misalnya tunarungu. Ada juga yang diumpetin orang tua. Bahkan tidak masuk di kartu keluarga (KK),”ujarnya.
Ke depan, Detty berharap implentasi perda bisa melindungi dan memenuhi hak penyandang disabilitas. Serta fasilitas bagi penyandang disabilitas bisa ditingkatkan. “Kami minta pemkot bisa melakukan sosialisasi perda ini dan merealisasikan sarana dan prasarananya,” tandasnya. (den/lis)