27 C
Semarang
Saturday, 21 December 2024

Pedagang Tradisional Lebih Nyaman Jualan Manual

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Zaman terus berubah. Perkembangan teknologi informasi semakin tak terbendung. Transaksi perdagangan yang tadinya lebih banyak yang konvensional, kini memaksa banyak orang beralih ke digital.

Terutama di kalangan Unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), seperti pedagang tradisional di pasar, pedagang sembako, pedagang bakso dan mi, serta lainnya.

Meski belum banyak di Pasar Bulu Kota Semarang, namun beberapa pedagang sudah mulai beradaptasi dengan teknologi. Baru 30 persen pedagang yang menggunakan transaksi digital.

Salah satu pengguna, Solihati Darmadi, 47, sudah hampir dua tahun menggunakan transaksi digital. Ia belajar secara otodidak untuk menyesuaikan perkembangan.

Awalnya menggunakan website Tumbasin, aplikasi berbelanja online di pasar tradisional. Sebagai alat transaksi maupun pemesanan berbagai jenis barang.

“Pas awal-awal pandemi Covid-19 lumayan. Waktu itu cukup ramai karena orang-orang pada takut ke pasar. Ya jadi alternatif,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.

Pedagang buah segar ini dibantu anaknya dalam mengurus transaksi. Ia hanya memposting dagangan saja. Pembayarannya ada yang pakai Ottopay, Boost, dan BRI Link.

Kini, ia memilih memasarkan dagangan lewat whatsapp dan facebook yang dirasa paling mudah dan tidak ribet. Sedangkan transaksinya ada yang tunai ataupun transfer menggunakan BRI Link. Namun, ia membatasi wilayah pengiriman, tidak lebih dari 3-5 kilo meter.

“Saya tidak mau kalau jauh. Kadang kalau sepi ya saya layani. Kalau ramai ya nanti kalau pulang. Fleksibel saja,” ujar Solihati yang sudah berdagang sejak 1994 ini.

Meski sudah menggunakan digital, namun Solihati mengaku lebih nyaman berdagang manual di pasar. Menurutnya, jika menggunakan transaksi online akan repot, karena pesanan sedikit harus diantar. Apalagi ia tidak mematok minimal pembelian. Berbeda dengan transaksi langsung di pasar.

“Kalau pelanggan datang kesini langsung, misal beli sedikit, kemudian melihat barang yang lain, ada gagasan atau peluang buat beli lagi. Saya juga tidak repot mengantar,” ujarnya.

Untuk harganya, baik online maupun manual sama saja. Justru jika online pelanggan akan mendapat jaminan barang bagus, tidak berisiko.

Pedagang sembako, Siti Isnaen mengatakan belum tertarik menggunakan transaksi digital. Meski sudah banyak penawaran, namun ia belum mempraktikkan. “Kalau saya pakai sistem COD. Pesannya online tapi bayarnya tetap cash,” ujarnya.

Ia menilai, masih banyak masyarakat yang takut menggunakan sistem online. Ia pun memilih jualan secara manual. “Takutnya sudah transfer gak dikirim, was-was. Nah ini yang tidak disukai. Lebih senang datang langsung terus dibayar,” imbuhnya.

Hal senada diungkapkan Tono. Ia belum menggunakan sistem digital dalam berdagang. Menurutnya, berdagang secara online lebih memakan waktu sebab harus stay dan ready dengan handphone. Sedangkan ia sudah memiliki pelanggan banyak, sehingga keteteran jika harus berkecimpung pada penjualan online.

“Ya walaupun efektif, pasarnya kan lebih luas. Tapi saya lebih fokus dagang begini saja. Kalau keinginan ada, tapi ya belum ada tenaganya. Karena kan harus posting, menanggapi, dan memantau. Kalau kita sendirian malah keteteran,” ucapnya.

Selain di pasar, Warung Pecel Bu Sumo Semarang mulai menyediakan pembayaran berbentuk digital sejak awal pandemi. Menurut pengelolanya, Tegas Nur Cahyo, bermula dari tawaran bank yang akhirnya memutuskan untuk menyetujui pengadaan barcode di warungnya.

“Kan uang itu jadi salah satu perantara persebaran virus Covid-19 ya. Jadi, ketika ditawari pihak bank untuk memakai sistem barcode, ya mau saja,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.

Apalagi pengajuan kepemilikan barcode ternyata mudah mudah. Cukup mengisi formulir data diri pengajuan. Sore harinya barcode sudah diterima dan siap digunakan untuk transaksi.

Namun setelah satu tahun penerapan sistem digital, masih sedikit pembeli yang memanfaatkannya. Dirinya sudah berusaha menawarkan kepada pembeli yang datang untuk menggunakan barcode. “Tetap saja, mereka memilih pembayaran secara tunai. Mungkin karena ribet kalau menggunakan barcode. Harus scan dulu, ketik nominalnya, dan perlu memasukkan kata sandi,” tutur bapak dari tiga anak ini.

Adanya sistem digital memang meminimalkan dan memudahkan kasir ketika kehabisan uang kecil atau receh untuk kembalian. Metode pembayaran ini memberikan solusi bagi pembeli yang lupa membawa uang tunai.

Sayangnya, Tegas merasa sistem digital terkadang menghambat mobilitas dalam berbelanja. “Kalau pakai barcode, uangnya masuk ke bank ya. Salah satu bank yang saya gunakan uangnya nggak bisa langsung cair. Kan jadi repot. Harusnya bisa dipakai belanja, tapi baru bisa diambil besoknya,” jelas pria 33 tahun ini.

Meski begitu, cucu Bu Sumo ini akan tetap menyediakan sistem barcode untuk mempermudah pelanggannya. Terlebih pandemi berangsur membaik. Selain itu, ia berharap ketika pandemi selesai, warungnya kembali ramai.

“Saya sih akan tetap pakai. Siapa tahu setelah pandemi hilang dan kampus memberlakukan tatap muka semakin laris. Rata-rata mahasiswa terbiasa menggunakan barcode,” tutupnya. (ifa/mg10/mg12/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya