RADARSEMARANG.COM – Wilayah utara Kabupaten Pekalongan merupakan wilayah rawan rob. Namun sejak dibangunnya tanggul darurat yang membujur dari Kecamatan Siwalan hingga Kecamatan Tirto, warga mengaku hingga Januari 2021 ini belum terjadi rob. Hanya sisa-sisa air hujan yang masih menggenangi gang dan halaman rumah warga.
RADARSEMARANG.COM melakukan pantauan lapangan di beberapa desa rawan rob di Kecamatan Tirto. Yakni, Desa Tegaldowo, Mulyorejo, dan Jeruksari. Ke Desa Tegaldowo, koran ini menyusuri permukiman pinggir Sungai Meduri. Dari jalan pantura menuju ke utara.
Sejak masuk jalan utama desa ini, fisik jalan sudah bagus. Sudah dibeton. Di sebelah timur, Sungai Meduri tampak tinggi. Namun airnya tidak sampai keluar dari tanggul. Menurut informasi, tanggul tersebut dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPU-Taru) Kabupaten Pekalongan.
“Sebelum ada tanggul itu, air bisa meluap dan masuk ke permukiman,” kata Sutejo, 50, warga RT 05 RW 02 Desa Tegaldowo.
Beberapa rumah, halamannya tergenang air. Bahkan di tempat rekreasi Meduri Asri yang kini mati, genangan air tampak jelas hingga ke halaman. Di beberapa titik, genangan air hingga berwarna hitam kehijau-hijauan. Di beberapa gang, juga ada genangan air. “Ya, ini genangan air hujan yang lambat surut. Bukan rob,” jelas Sutejo.
Koran ini berjalan lebih ke utara menuju Desa Mulyorejo. Fisik jalan utama masih bagus. Juga terbuat dari beton. Di ujung jalan, tampak sedang ada proyek. Di papan informasi tertulis nama proyek “Pengendalian Banjir dan Rob Pekalongan Tahap II”.
Koran ini kemudian masuk ke permukiman Desa Mulyorejo. Sama halnya seperti di Tegaldowo, tidak ada rob di Mulyorejo. Hanya genangan air di halaman rumah warga dan lahan kosong. Dari pengamatan koran ini, hampir semua pintu rumah warga pendek. Orang harus merunduk saat masuk.
“Sebagian besar rumah di sini lantainya sudah diuruk tiga hingga lima kali. Bahkan ada yang lebih. Karena dulu sering rob dan banjir. Jadi, bangunan dan pintunya pendek-pendek,” kata Casmadi, 47, warga setempat.
Tak hanya rumah warga, musala juga demikian. Bangunannya pendek. Kata Casmadi, warga menguruk rumah bisa sampai 1,5 meter dari permukaan semula. “Tapi sekarang sudah tidak rob. Paling hanya genangan sisa air hujan,” jelasnya.
Menurut kesaksian Casmadi, sebelum dibangun tanggul darurat di utara desa dan Sungai Meduri, rob selalu datang tiap sore hingga pagi. Limpasan air Sungai Meduri juga mengancam tiap hujan turun. Waktu itu, kata Casmadi, warga tak berani meletakkan sepeda motor di rumah. “Sepeda motor dititipkan di daerah yang agak tinggi atau yang tidak rob,” ungkapnya.
Dari rumah Casmadi, koran ini menuju lokasi tanggul darurat. Menuju ke sana, harus melewati jalan tanah setapak. Dalam perjalanan, sejauh mata memandang ke utara hanya tampak genangan air. Menurut warga yang tengah memancing ikan di sana, dahulu itu merupakan tambak dan persawahan. Jika terus ke utara, sudah langsung laut.
Tanggul itu terbuat dari tanah merah. Ada susunan bambu di bibir tanggul. Lebar tanggul kira-kira selebar dua badan mobil. Koran ini belum bisa mengetahui tinggi tanggul. Namun yang jelas, lebih tinggi dari ketinggian genangan air.
Koran ini kemudian menuju Desa Jeruksari. Ke Desa Jeruksari, koran ini harus kembali ke Jalan Pantura dan melewati wilayah Kota Pekalongan. Sama halnya dengan Desa Mulyorejo dan Tegaldowo, Desa Jeruksari juga sudah tidak rob.
Menurut Bagas, 25, warga setempat, sejak dibangun tanggul darurat dan tanggul Sungai Meduri, rob mulai berkurang.
“Terakhir awal 2019 itu masih ada banjir agak besar. 2020 banjir kecil. Setelah tanggul Sungai Meduri ada, hingga sekarang belum ada banjir dan sudah tidak rob,” ujarnya.
Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPU-Taru) Kabupaten Pekalongan Edhi Setiawan mengatakan, banyak faktor penyebab rob di Kabupaten Pekalongan. Salah satunya land subsidence atau penurunan permukaan air tanah.
Ia menjelaskan, berdasarkan data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Kabupaten Pekalongan mengalami land subsidence 3-4 sentimeter per tahun. Namun, kata dia, hasil penelitian terbaru pada 2018 dari Dr Heri Andreas lebih ekstrem. Land subsidence di Kabupaten Pekalongan 8-20 sentimeter per tahun.
“Rob terjadi sejak 2007 di tiga kecamatan wilayah utara Kabupaten Pekalongan yakni Wonokerto, Siwalan, dan Tirto,” jelasnya.
Ia menjabarkan, tanggul darurat mulai dibangun pada 2017. Awalnya, kata dia, tanggul darurat dibuat hanya di Mulyorejo sepanjang 600 meter. Pemkab Pekalongan kemudian mengajukan program serupa ke pemerintah pusat.
“Akhirnya kami mendapat suntikan dana dari APBN untuk membuat tanggul darurat yang membujur dari Kecamatan Siwalan hingga Tirto,” katanya.
Pelaksana proyek tersebut adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Edhi menjelaskan, pembangunan tanggul darurat itu dilaksanakan tiga segmen. Pertama sepanjang 2.850 meter, kedua 2.105 meter, dan terakhir 2.311 meter.
“Yang ketiga itu meliputi Desa Jeruksari dan sebagian wilayah Kota Pekalongan juga,” jelasnya.
Sementara itu, tanggul Sungai Meduri merupakan proyek yang dikerjakan DPU-Taru Kabupaten Pekalongan pada 2020 lalu. “Itu kami bangun karena Sungai Meduri sering meluap ke permukiman saat hujan,” jelasnya.
Edhi mengatakan, saat ini juga sudah ada tujuh pompa air untuk penanganan rob. Pertama di Sungai Silempeng dua pompa, Sungai Sengkarang tiga pompa, dan di wilayah Kota Pekalongan dua pompa. Semuanya berkapasitas 2 meter kubik per detik.
“Nanti akan ditambah satu pompa di Sungai Mrican. Insya’ Allah bisa lebih optimal,” ungkapnya.
Untuk proyek pengendalian banjir dan rob Pekalongan tahap II itu, kata Edhi, adalah rangkaian penanganan rob di Pekalongan. Proyek tersebut juga dilaksanakan oleh BBWS Pemali Juana untuk memperkuat tanggul. “Kalau itu sudah jadi, Insya’ Allah akan semakin optimal,” tandasnya. (nra/aro)