RADARSEMARANG.COM – Dani Sriyanto dan Insetyonoto alias Totok, dua penyintas covid-19 membagikan testimoninya pada diskusi yang diselenggarakan RADARSEMARANG.COM bekerja sama dengan Satgas Covid-19 pada Senin (28/12) pukul 11.00-12.00 via daring. Diskusi yang diikuti berbagai elemen masyarakat dipandu Sulis SA.
Kabar itu diterima Dani Sriyanto SH, pada perjalanan Bandung-Jogjakarta, akhir November lalu. Istrinya, Diah Oktaviana, positif Covid-19. Pada saat berbarengan, tubuh pria asal Wonogiri itu merasa tidak enak badan. Ia dilanda demam. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan, menjadi kurang nyaman. Dani lantas menelepon dokter pribadinya, dr Roy.
“Kepada dr Roy, saya sampaikan kalau saya demam. Dan saya minta diposisikan sebagai pasien Covid-19, walaupun saya belum tentu Covid, karena belum dilakukan tes. Tapi karena riwayat istri Covid, saya berasumsi bahwa saya juga kena Covid,” kata Dani Sriyanto. Beberapa hari kemudian, hasil tes swab menunjukkan Dani positif terpapar korona.
Saat demam, suhu tubuhnya mencapai 38 derajat celcius. Ia putuskan mengisolasi diri sendiri di rumahnya, di kawasan BPI Ngaliyan bersama istri. Bersama Diah, Dani menempati kamar di lantai bawah. Sedangkan anak-anak dan beberapa asisten rumah tangga menempati lantai atas. Mereka tidak bertemu secara fisik. Hanya via daring.
Kenapa tidak dirawat di rumah sakit (RS)? Dani mengaku, jika dirawat di RS, tentu dia akan diisolasi sendiri di sebuah ruangan. Pun istrinya. Di kamar sendiri. Sehingga keduanya tidak bisa saling bertemu secara fisik. Kondisi seperti itu, bakal membuat imunnya semakin drop.
“Kalau saya dirawat di RS, justru akan jadi beban pikiran. Di kamar sendiri, tidak ada yang menjenguk, mendampingi, otomatis imun akan semakin drop,” kata Dani. Maka, dipandu dan diberi resep oleh dokter pribadinya, Dani lantas melakukan isolasi mandiri.
Ia tahu risiko yang bakal dihadapi saat nantinya melewati masa-masa kritis. “Pada hari ke-7 sampai hari ke-9, saya nyaris gagal nafas. Demam tinggi dan sulit nafas. Saturasi dengan oksimeter menunjukkan di bawah 90, saya butuh oksigen,” cerita lawyer yang berkantor di Jalan MH Thamrin, Semarang, itu.
Selama tiga hari mengalami gagal nafas, Dani sempat diberi oksigen kalengan. “Habis 20 botol,” kenangnya. “Saya lihat istri–meski dia juga Covid, tapi kondisinya stabil—menangis melihat kondisi saya saat itu. Mungkin di dalam pikirannya, sudah mengira dia akan jadi janda,” urai Dani, setengah bercanda.
Bakal mengalami risiko sesak nafas yang datang tiba-tiba, sudah ada di pikiran Dani. “Sampai-sampai saya sudah buat wasiat. Kalaupun saya harus meninggal, maka jangan dibawa ke RS, biar di rumah saja,” katanya. Pasrah dan selalu berdoa kepada Allah SWT menjadi sikapnya.
Support keluarga dan orang-orang dekatnya, membuat imunitas Dani perlahan membaik. Variasi antara obat Covid yang diresepkan dokter dan vitamin serta herbal, menjadikan kondisinya berangsur membaik. Terapi uap dari ketel listrik yang diberi air dan ditaburi minyak kayu putih, rutin dilakukan. “Dahak saya awalnya kental dan warnanya coklat. Setelah rutin terapi, jadi cair dan putih. Batuk pun tidak ngekel lagi. Terapi ini masih saya lakukan,” ujarnya.
Kabar baik justru datang dari sang istri. Diah sudah dinyatakan negatif berdasarkan hasil tes swab di sebuah klinik. Sedangkan Dani masih dag-dig-dug. “Hasil tes Covid saya baru beberapa kemudian keluar. Alhamdulillah, hasilnya negatif,” kata pemilik Oemah Sapen, Mijen, itu,
Oleh Dani, hasil negatif Covid lantas di-share ke keluarga dan kawan-kawan dekatnya. Itu pula yang ia lakukan saat anggota Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) tersebut, awalnya dinyatakan positif Covid.
“Saya sampaikan bahwa saya positif Covid, tentu bukan untuk kepentingan saya sendiri. Tapi juga kepentingan orang lain, keluarga, dan teman-teman dekat yang pernah kontak dengan saya. Sehingga kalau mereka, misalnya, mau ke rumah saya, tentu tidak bisa saya temui, karena saya sedang isolasi mandiri. Sehingga saya tidak menulari orang lain,” ucapnya.
Usai dinyatakan negatif Covid-19, Dani tidak langsung berlega hati. “Saya cari second opinion. Tes serupa di klinik lain. Alhamdulillah, hasilnya juga negatif,” kata ayah dari Nicole itu.
Second opinion, lanjut Dani, perlu dilakukan. Karena terkadang hasil tes yang awalnya negatif, setelah dites di tempat lain, justru masih positif.“Ini yang menurut saya, kalau sudah dinyatakan satu kali negatif, perlu tes lagi. Karena orang yang pernah terpapar korona, masih bisa terpapar lagi.”
Cerita lebih dramatis juga disampaikan Insetyonoto alias Totok. Jurnalis senior ini positif Covid-19, dan harus dirawat di RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. Dari RSUD Wongsonegoro, Totok lantas dipindah ke Balai Diklat Kota Semarang, rumah isolasi bagi penderita covid. Saat itu, statusnya masih positif. Masih berstatus positif covid, Totok meminta untuk isolasi mandiri di rumahnya, di kawasan Tlogosari.
“Sebelas hari saya dirawat di RSUD Wongsonegoro,” kata Totok yang hingga kini masih menjalani masa pemulihan.
Totok memiliki riwayat komorbit atau penyakit penyerta, paru-paru. Sehingga paru-parunya aktif lagi. Hasil thorax menunjukkan paru-parunya tampak putih, khas paparan Covid.
Di RS, Totok justru stres. Berstatus sebagai pasien isolasi, dia ditempatkan di ruangan tersendiri, di Gedung Arjuna. Baru dua hari kemudian, dipindah ke Gedung Banowati. “Saya tidak bisa tidur. Kepikiran terus. Apalagi, ternyata istri dan anak pertama saya juga positif covid. Sedangkan anak kedua, negatif.”
Selama sebelas hari dirawat di RS, Totok sulit tidur. Karena itu, ia selalu minta obat tidur. “Waktu saya habiskan untuk mendengarkan murotal, salat lima waktu dan berzikir. Tapi tetap saja tidak bisa tidur, kepikiran orang di rumah yang juga kena covid,” ucap lulusan Fakultas Sastra (sekarang FIB) Undip itu.
Setelah kondisinya berangsur membaik, Totok minta dipindah di rumah isolasi milik Pemkot Semarang. Yakni, di Gedung Balai Diklat. Jaraknya, hanya 100 meter dari RSUD Wongsonegoro. “Di Balai Diklat, saya masih mendingan. Bisa tidur.” Tapi ia juga terus diliputi perasaan tegang. Karena dari beberapa kali swab test, hasilnya selalu positif. Yang mengejutkan, lanjut Totok, justru di Balai Diklat, kondisinya sempat mengkhawatirkan. “Saya sempat beberapa kali sesak nafas. Padahal, saat dirawat di RS, tidak mengalami sesak nafas.”
Empat belas hari di Balai Diklat dengan hasil masih positif Covid, Totok lantas meminta isolasi mandiri di rumah. Imunnya mulai membaik saat mendengar kabar bahwa istri dan anak pertamanya sudah negatif Covid-19. Ia lantas pulang ke rumah. Di rumah, Totok menempati kamar sendiri. Juga sang istri. “Di rumah, Alhamdulillah, saya bisa tidur nyenyak,” ucap pria berjenggot putih itu.
Oleh saudaranya di Ungaran, Kabupaten Semarang, Totok lantas dibelikan ramuan herbal Tiongkok. “Dengan herbal itu saya justru bisa tidur dan imun mulai membaik. Setelah itu berangsur pulih,” katanya.
Setelah berkonsultasi dengan Puskesmas Tlogosari Kulon, Totok diminta untuk swab test. Untuk memastikan masih positif atau sudah negatif. “Alhamdulillah, hasilnya negatif,” ucap Totok yang mengaku tak tahu dari siapa dia bisa terpapar korona.
Awal demam, oleh dokter Puskesmas, ia hanya didiagnosa mengalami tipes. Toh, setelah diberi obat, demamnya tidak kunjung reda. Sempat ke rumah sakit swasta, oleh dokter RS, Totok juga dinyatakan hanya demam biasa.
Setelah mengonsumsi obat dokter, bukannya membaik, demam Totok masih tinggi: 38 derajat. “Setelah itu saya balik lagi ke Puskesmas Tlogosari Kulon. Oleh kepala Puskesmas, saya disarankan swab test. Awalnya, saya khawatir, karena selama ini kalau ada rapid test juga saya tidak pernah mau ikut,” kenang Totok.
Setelah berdiskusi dengan istri, Totok akhirnya mau melakukan swab test. Termasuk, dengan risiko jika ia terpapar korona, maka istri dan anak-anaknya juga harus bersedia di-swab. “Hasilnya saya positif dan keluarga harus juga swab test.” Saat ini, Totok belum ke mana-mana. Ia masih berdiam di rumah. “Masih pemulihan,” ucapnya.
Kepada pemerintah, Totok meminta tidak hanya membagi-bagikan sembako dan imbauan 3M. Tapi lebih penting adalah memberikan vitamin secara gratis. “Agar imun kuat. Karena kuncinya di imun.” (*)