RADARSEMARANG.COM, Penyandang difabel kerap dipandang sebelah mata. Mereka tidak bisa mengakses fasilitas layaknya orang normal. Di Posyandu Difabel Rowosari, penyandang diberi ruang untuk berkembang, berkreasi dan berdikari.
ALVI NUR JANAH, Radar Semarang
ADA pemandangan berbeda ketika wartawan RADARSEMARANG.COM berkunjung ke Posyandu di Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Posyandu tersebut justru diramaikan anak-anak difabel.
Berdiri sejak 2016 lalu, posyandu ini awal mulanya hanyalah sebuah komunitas. Khusus penyandang difabel yang lahir di Kelurahan Rowosari. Motor penggeraknya ibu-ibu Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dan Pekerja Sosial Kecamatan (PSM) Kecamatan Tembalang.
“Kami yang merintis untuk didirikannya komunitas difabel Rowosari ini,”kata Sri Mundiyati kepada RADARSEMARANG.COM, Selasa (8/9).
Posyandu berukuran 7×15 meter ini berisi anak-anak penyandang difabel.
Menurut Sri, hadirnya posyandu ini sebagai wadah penyandang untuk tetap berdikari. Meski di tengah keterbatasan fisik, mereka tetaplah sama seperti yang lain.
“Kami melihat masih ada orang tua yang menutupi kekurangan anaknya. Imej kurang pede dan terbelakang itu yang masih melekat pada mereka,”imbuh Sri.
Dengan sabar, Sri menuntun mereka. Baginya, mereka hanya kurang beruntung. Adanya posyandu difabel ini sebagai tempat yang layak dan ramah difabel. Agar mereka tidak merasa terasingkan.
“Kita bina mereka penuh kasih sayang, kesabaran penuh perhatian. Tidak merasa dikucilkan masyarakat,”katanya.
Usut punya usut, banyaknya difabel di Rowosari tak terlepas dari mitos. Konon katanya, dahulu banyak pernikahan sedarah yang sudah menjadi kebudayaan. Mereka mengamini hal tersebut. Mendapat jodoh yang dekat, tak jauh dari rumah. Itu yang menjadi cikal bakal banyaknya difabel di Rowosari.
“Adanya seperti itu, kita banyak dapat (jodoh) tetangga. Masih ada hubungan darah dan keluarga. Itu berlaku sampai sekarang,”ungkap Sri.
Terlepas dari benar tidaknya mitos itu, wilayah Rowosari termasuk dalam perbukitan kapur. Banyak permukiman yang dikelilingi batu kapur. Sehingga air yang dikonsumsi mengandung kapur. Mereka sudah terbiasa merebus air dari tanah kapur. Air didiamkan lalu direbus sampai mendidih. “Kalau diminum kadang endapan kapurnya masih ada. Itu mitos yang dari dulu belum luntur sampai sekarang. Air minum di sini dari bukit kapur,”bebernya.
Namun para pengampu tidak memperdulikan mitos itu. Benar tidaknya hanya Sang Pencipta yang tahu. Dalam membimbing anak-anak, Sri dan teman-teman hanya berbekal keikhlasan. Jumlah anak-anak difabel berjumlah 50 orang. Belum dengan difabel lansia, dengan penyakit stroke dan buta permanen. “Totalnya ada 100 orang. Kadang yang bersangkutan tidak mau diekspos. Ada yang tidak mau dan merasa malu,”papar Sri.
Beruntung, para pengampu diberi hati seluas samudera. Sabar dan penuh keikhlasan. Kuncinya satu, jangan sampai dengan kekerasan. Jika kasar, mereka akan berontak dan tidak mau mengikuti kelas. Harus dihadapi dengan penuh kelembutan dan merangkul.
“Mereka kan sama saja, punya hati dan perasaan. Hanya fisiknya dan keterbatasan saja yang jadi pembeda,”katanya.
Jika di posyandu biasa, semua dilakukan cekatan. Di posyandu difabel berbeda. Istilahnya, pengampu yang harus nurut kepada mereka. Bermacam-macam difabel yang dihadapi. Ada tunagrahita, tunarungu, tunawicara, tunadaksa dan lain sebagainya. “Kalau anak-anak mereka kami ajari cuci tangan atau membawa gelas. Biasanya didampingi ibunya yang juga difabel,”ujarnya.
Satu hal yang pasti, pengampu ingin melihat para difabel menemukan dunianya. Meski hanya di posyandu, itu sudah cukup bersyukur. Para pengampu ingin meruntuhkan stigma. Berharap para difabel bisa hidup normal dan bahagia. “Mereka juga mau berbaur dan bermasyarakat. Tidak mau dikucilkan, di-bully karena mereka juga punya harapan,”katanya.
Salah satu difabel, Hadi, 27, adalah tunagrahita atau istilahnya lemah syaraf. “Orang-orang menyebutnya lemot,”ujarnya.
Hadi dandanannya necis parlente. Sangat memperhatikan penampilan layaknya orang normal. Kata Sri, Hadi suka marah-marah jika tingkahnya tak digubris oleh gebetannya.
“Perawakan dia kan kayak orang dewasa. Paling heboh. Incarannya cewek umur 17 tahun, suka kasih hadiah,”kata Sri sambil tersenyum.
Dari kejadian tersebut, artinya penyandang difabel pun memiliki hasrat mencintai dan ingin dicintai. Meski keterbelakangan mental, rasa mengasihi tetap mereka miliki. “Banyak sekali sifat anak dan karakternya, sangat variatif,”jelasnya.
Bagi anak-anak, mereka biasa diberi makanan sehat. Bubur kacang hijau dan vitamin tumbuh kembang. Ada sarana dan prasarana permainan. Kendati terbatas, tak menjadi soal. Jumlah 15 pengampu dirasa cukup membantu. Kuncinya kerja sama dan sabar.
“Difabel anak-anak, mereka berhitung, menggambar. Untuk alat mainnya, ada puzzle dan mobil -mobilan biar tidak jenuh.
Dalam praktiknya, para pengampu terbiasa membimbing difabel dari pukul 08.00-11.00. Posyandu berada di samping kantor Kelurahan Rowosari. Tempatnya belum bisa diatur layaknya playground.
Kabar adanya posyandu difabel di Rowosari sudah sampai di telinga Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu. Orang nomor dua di Kota Semarang tersebut pernah mengunjungi. Bertempat di RW 8 Kelurahan Rowosari, Mbak Ita –sapaan akrabnya– berbaur langsung dengan mereka. “Semoga ini bisa menjadi contoh kelurahan lain. Rowosari yang mengawali untuk memberi motivasi kepada penyandang difabel di Kota Semarang,”kata Lurah Rowosari Surata. (*/aro)