RADARSEMARANG.COM, Suami di-PHK akibat pandemi Covid-19. Pendapatan keluarga nihil. Para istri pun memutar otak agar dapur tetap ngebul. Seperti yang dilakukan ibu-ibu warga Jomblang RT 3 RW III, Candisari, Semarang ini.
NUR WAHIDI, Radar Semarang
PULUHAN warga RT 3 RW III Kelurahan Jomblang berkumpul di rumah Siti Wahyuni. Mereka saling berbagi tugas. Ada yang memasak, menggoreng, menyiapkan besek, menata makanan, dan sibuk dengan HP untuk menerima order.
Ya, selama pandemi Covid, mereka merintis bisnis makanan tradisional. Ada tahu, tempe, gembus bacem, srundeng, gemblong dan jadah. Makanan itu dikemas dalam besek bambu. Penjualannya lewat online.
Siti Wahyuni menuturkan, akibat dampak Covid-19, suaminya dirumahkan dari pekerjaannya. Praktis, kini tidak ada pendapatan pasti. Padahal kebutuhan hidup tak bisa ditunda-tunda. Bahkan, cenderung naik. Apalagi selama puasa dan menjelang lebaran.
“Di tengah kesulitan ini, muncul ide berbisnis makanan tradisional,” katanya.
Ia lalu mengajak ibu-ibu yang bernasib serupa. Awalnya, sempat ragu apakah makanan yang dibuat akan laku. Apalagi selama Ramadan ini. Namun Siti Wahyuni dan ibu-ibu lainnya nekat. Ternyata dugaannya meleset. Makanan tradisional yang dibuat laku keras. Bahkan, kini setiap hari mereka mampu menjual hingga 69 besek.
“Saya menawarkan makanan tradisional ini secara online dan getok tular. Saya memulai sejak awal Ramadan. Alhamdulillah lancar,” ujarnya.
Dalam memenuhi keinginan pelanggan, ia pun membuat beberapa inovasi. Ada varian jadah original. Ada yang di-mix antara jadah, tempe dan tahu bacem. Ada juga kombinasi supermi tempe, tahu dan gembus bacem dan jadah. “Jadi dalam satu besek isinya variasi,” katanya.
Yang menarik, pemesan makanan tidak hanya dari Kota Semarang, tetapi juga sampai Cirebon. Pernah juga ada pesanan dari Jakarta.
“Tapi, saya takut mengirimnya, karena masih tradisional. Makanan hanya mampu bertahan dua hari, sehingga pengirimannya dipending,” ucapnya.
Dalam satu besek berisi 10 gemblong, lima tempe bacem, dan lima tahu bacem seharga Rp 45 ribu. Pelanggan kebanyakan orang yang sudah sepuh. Pihaknya mencoba menyasar pembeli milenial.
Selain lewat online, ada juga tim pemasaran yang melibatkan orang lain sebagai marketing. “Mereka mengambil dengan harga miring, lalu dijual lagi,” katanya. (*/aro)