RADARSEMARANG.COM, Menjadi dokter dan perawat yang menangani pasien Covid-19 seakan menjadi taruhan hidup. Betapa tidak. Mereka harus berjibaku di garis paling depan dalam perang melawan virus yang tidak kasat mata tersebut.
NANANG RENDY AHMAD, Radar Semarang
Berto, Amd. Kep, salah satu perawat yang pernah menangani pasien Covid-19 di RSUD KMRT Wongsonegoro, Semarang. Selama dua tahun bekerja sebagai perawat di rumah sakit milik Pemkot Semarang itu, pria 25 tahun ini mengaku baru merasakan sesuatu yang beda saat pandemi Covid-19 ini. Rasa haru, khawatir, sekaligus bangga, campur aduk saat merawat pasien Covid-19.
Berto mengaku, sering dihantui rasa khawatir. Namun rasa itu segera pergi ketika ia mengingat profesionalismenya sebagai perawat. Ia sadar perannya sangat dibutuhkan dan tak ada alasan untuk tidak profesional, meski nyawa taruhannya.
“Perawat seperti kami juga manusia. Tetap ada rasa khawatir tertular dan menularkan ke keluarga. Tapi profesi ini melekat. Saya mesti profesional meski dihadang risiko apapun,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM, Minggu (12/4).
Berto bertugas di Ruang Arjuna I. Di sana tersedia 15 bed untuk pasien. Sejauh ini sudah ada lebih dari 50 pasien Covid-19 yang dirawat di ruang itu. “Dari jumlah itu, lima di antaranya dinyatakan positif. Namun Alhamdulillah mereka sudah sembuh. Sudah dipulangkan dan dilakukan observasi di rumah masing-masing,” tutur pria asal Sragen ini.
Ia mengungkapkan, meski saat bertugas ia mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, rasa khawatir tetap ada. Bahkan, ia mengenakan APD lengkap baru ia rasakan setelah dua tahun bekerja. “Rasanya seperti berperang melawan musuh yang tidak terlihat mata telanjang. Jadi terkadang rasa khawatir tetap muncul meski berpakaian APD lengkap. Ini pengalaman pertama,” akunya.
Selama merawat pasien Covid-19, banyak pengalaman mengharukan dialami. Salah satunya adalah memecah kerinduan seorang ibu kepada anaknya lewat kamera CCTV. Menurutnya, itu pengalaman paling berkesan namun mengharukan.
Suatu kali, ia sedang di nurse station. Ia melihat seorang ibu yang hendak membawakan barang-barang untuk anaknya yang merupakan salah satu pasien Covid-19. Karena tak diperbolehkan ada kontak langsung, ibu tersebut mencari-cari anaknya lewat monitor CCTV.
“Melihat itu, saya berinisiatif memperbesar gambar. Pasien saya suruh melambaikan tangan ke CCTV. Agar ibunya yang di ruang tunggu melihatnya. Rekan saya menangis sejadinya. Saya pun turut haru,” bebernya.
Bagi Berto, itulah kali pertama ia melihat cinta dan kerinduan yang mendalam. Betapa seorang ibu sangat cinta dan rindu pada anaknya. “Benar-benar haru. Pengalaman itu tak akan pernah saya lupakan,” katanya.
Tiap pasien Covid-19 dirawat selama lebih dari 14 hari. Hal itu membuat Berto menjadi dekat dengan mereka. Ia juga merasa mereka sudah seperti keluarganya. “Jadi, ketika mereka sembuh dan kembali tersenyum, saya sangat merasa lega sekaligus bangga. Senyum mereka saat hendak pulang membuat saya betul-betul merasa bangga,” bebernya.
Bagi perawat seperti Berto, mendengar orang-orang meremehkan virus ganas tersebut terkadang membuatnya sedih. Sebab, tim medis yang berjuang di garda depan sangat kuwalahan, dihantui rasa khawatir dan menaruhkan nyawa ketika menangani pasien Covid-19. “Ketika kami bekerja mati-matian, masih banyak yang mengabaikan dan meremehkan virus ini. Padahal kami sedang berjuang. Kadang kami merasa sedih,” ucapnya.
Ia berpesan, kepada semua orang mestinya turut mendukung gerakan diam di rumah untuk memutus rantai penularan. Sebab, lanjut dia, wabah ini dapat berdampak ke semua sektor yang melumpuhkan semua aspek kehidupan.
“Jadi, mari bersama-sama berjuang melawan wabah ini. Kami akan tetap berjuang. Namun jangan sampai jumlah pasien Covid-19 terus naik hanya gara-gara meremehkan physical distancing,” ujarnya.
Dokter Mulyono Aji, Sp.P, FISR adalah dokter spesialis paru dan saluran pernafasan di RSUD Sunan Kalijaga Demak. Sudah bertahun-tahun ia bertugas menangani pasien dengan kasus penyakit paru. Seperti tuberculosis (TBC). Penyakit ini pengobatannya cukup lama. Ada yang enam bulan pengobatan. Bahkan, ada yang sampai dua tahun. Karena itu, pasien TBC biasanya akan berlaku protokol terapi selama sekian bulan atau sekian tahun tersebut.
Hal ini tentu berbeda dengan penanganan Covid-19 . Meskipun pasien korona juga harus menjalani protokol kesehatan, namun terapinya relatif lebih cepat, yaitu satu hingga dua minggu. Sebab, korona penyebabnya virus yang sifatnya bisa self limited disease. Sebaliknya, jika TBC penularannya dengan perantara udara. Sedangkan, korona ditularkan karena percikan dahak dengan jarak satu meteran.
“Wabah korona ini yang paling berat dihadapi adalah cepatnya penularan. Selain itu, dalam penanganan korona ada protokoler khusus sesuai regulasi yang ada, dan itu harus dijalankan, termasuk oleh masyarakat. Sebab, korona ini merupakan wabah penyakit berbasis komunitas Butuh kedisplinan, termasuk harus pakai alat pelindung diri (ADP), pakai masker, rajin cuci tangan, penyemprotan dengan disinfektan dan lain sebagainya,”ujar dr Aji kepada RADARSEMARANG.COM.
Demikian pula dalam perawatan. Ada tahapan pemantauan atau pengawasan hingga 14 hari sebagai masa inkubasi. Jika ada gejala Covid-19, maka harus menjalani tes swab 1 dan tes swab 2. Ini untuk memantau perkembangan virus yang ada di tenggorokan seorang pasien. Yang membuat sulit lagi ketika pasien tidak mentaati aturan yang berlaku. ”Sudah sakit saja masih ingin jalan-jalan dan ingin pulang dari rumah sakit. Padahal untuk yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) harus diisolasi,”ujarnya.
Dokter Aji juga menyampaikan, terkait dengan ketaatan terhadap regulasi pemerintah, secara pribadi, satu sisi ia bertempat tinggal di Semarang. Di sisi lain, ia tiap hari juga bekerja di RSUD Sunan Kalijaga, Demak. Artinya, selain memperhatikan dan mentaati aturan yang ada di Semarang, ia juga harus ikut aturan di tempatnya bekerja di Demak. “Bahkan, ada juga aturan penanganan Covid-19 ini secara nasional. Kalau ditanya apakah tidak takut ketularan? Ya, siapa sih yang tidak takut? Atau siapa sih yang ingin ketularan? Katanya balik bertanya.
Karena itu, suka duka dalam menghadapi wabah korona adalah bagaimana bisa mentaati semua aturan yang diterapkan oleh pemerintah tersebut. Dengan demikian, mata rantai penularan korona dapat diputus. (*/aro)